Oleh: Aditya
PSSI akan mengirim tim nasional
sepak bola usia 23 tahun (U-23) ke akademi La Masia Barcelona, Spanyol
pada 2013. Bersama sejumah pelatih, mereka akan mengikuti pendidikan di
sana.
Bob Hippy, Koordinator Pengiriman Tim mengungkapkan, para
pemain yang bakal dikirim jumlahnya ada 20 orang. Mereka diseleksi dulu
di sini, setelah lolos baru dikirim.
“Selain pemain kami juga mengirim pelatih dan staf pelatih agar ikut berlatih,” jelasnya.
Dia
yakin pemilihan pemain yang dikirim ke luar negeri saat ini, jauh lebih
selektif dibandingkan sebelumnya. Kalau dulu pemain yang dikirim bukan
berasal dari kompetisi, sementara sekarang semuanya dari hasil
kompetisi.
“Kalau dulu gagal, karena ada pemain yang menbayar agar bisa dikirim," cetus mantan pemain nasional di era 1960-an itu.
Sebagai
catatan, PSSI juga pernah mengirim anak-anak muda Indonesia ke Italia
untuk berlatih di awal era 1990-an. Proyek tersebut dikenal dengan nama
'PSSI Primavera' dan 'PSSI Baretti'. Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti,
Kurnia Sandy, Aples Tecuari dan Alexander Pulalo adalah sebagian alumni
proyek tersebut yang lalu menjadi tulang punggung tim nasional
Indonesia sampai akhir 1990-an.
Dari sisi metode, pendidikan di
Barcelona, terutama terkait dengan pola permainan bola pendek dinilai
cocok untuk mengimbangi kondisi fisik pemain Indonesia. Dengan pola ini,
kata Bob, pemain bisa menjaga untuk tidak kehilangan bola di lapangan.
Sehingga, tidak terjadi benturan-benturan fisik ketika berduel di
lapangan.
Soal pilihan yang jatuh kepada La Masia Barcelona,
alasan yang disampaikan Bob sederhana. Sebab hanya mereka yang
mengajukan penawaran untuk melakukan pelatihan dan pendidikan. “Bukan
Ajax Academy atau Manchester United Academy, karena baru La Masia
Barcelona yang mengajak. Lagipula mereka juga bagus kok di Spanyol
sana,” tuturnya.
Bernhard Limbong, Penanggung Jawab Timnas PSSI,
menambahkan ada tawaran pelatihan dari Belanda. “Presiden olahraga
Belanda menawarkan kami untuk mendapatkan pendidikan sepak bola pada
Agustus-September 2013. Mulai Januari kami akan mengadakan turnamen
untuk menyeleksi pemain yang disiarkan di RCTI,” jelasnya.
Soal
perbedaan kondisi sekarang dengan suasana pengiriman pemain ke luar
negeri pada era 1990-an, Limbong mengakui hal itu. “Saat ini pemain
terikat dengan klub. Jadi para pemain akan memilih untuk memprioritaskan
timnas atau klubnya,” kata dia.
Ketua Komisi Disiplin PSSI ini
juga menegaskan, pengiriman pemain ke Barcelona untuk berlatih merupakan
proyek jangka pendek. Sementara mengirim pelatih adalah proyek jangka
panjang.
“Kami ingin Timnas Indonesia mampu memboyong medali emas
di Myanmar, saat SEA Games 2013 berlangsung,” harap jenderal bintang
satu TNI-AD itu.
Terkait dengan dana yang dikeluarkan untuk
pengiriman dan pendidikan pemain Timnas U-23 ini, Bob Hippy mengaku
semuanya diurus oleh penyelenggara acara (EO – Event Organizer) di
Jakarta. “Kami sudah menunjuk satu orang yang mengurus masalah dana dan
teknisnya,” urai Bob.
Menanggapi rencana pengiriman pemain U-23
ini, wartawan olah raga Kompas, Agung Setyahadi menyambut positif. Tapi
dia menyadari, mengikuti pendidikan di La Masia Barcelona bukan berarti
langsung mendongkrak permainan dan prestasi timnas Indonesia.
“Mental
para pemain serta performa para pemain tidak akan langsung berubah
menjadi bagus. Namun mereka pasti mendapatkan pengalaman,” ujarnya.
Bagi Agung, pembinaan pemain usia muda saat ini belum sistematis. Tidak ada kompetisi yang bergulir secara rutin.
“Kompetisi
U-10, U-14, U-16 sampai U-21 ke atas dan seterusnya itu masih
belang-bentong. Seharusnya dipikirkan secara fokus karena dari kompetisi
yang berjenjang kita bisa mengamati bibit-bibit yang bagus,” jelasnya.
Agung
menyarankan agar meningkatkan performa timnas bukan hanya mencomot
pemain yang pernah mengecap pendidikan sepak bola di luar negeri, tetapi
dari kompetisi bermutu yang rutin bergulir.
“Kompas-Gramedia
punya kompetisi untuk pemain muda, tapi itu hanya untuk di kota. Daerah
pasti menginginkan hal serupa, sementara perusahaan tidak mampu
mengelolanya. Jadi yang bisa mencakup secara keseluruhan seharusnya
PSSI” ungkapnya.
Dia juga menuturkan satu hal penting yang tak
bisa ditinggalkan adalah faktor non-teknis. Misalnya soal table manner.
“Pengalaman U-16 di Uzbekistan, para pemain tidak mau mengonsumsi
makanan-makanan Eropa dan lebih memilih makan mie. Akhirnya mereka
mengalami diare dan tentu saja mempengaruhi performa mereka. Kalau
pemain seniornya mungkin sudah bisa beradaptasi,” imbuhnya.
Agung
juga menilai daripada harus mengirim pemain untuk mengenyam pendidikan
sepakbola di luar negeri, ada baiknya dana tersebut di alokasikan untuk
membuat kompetisi di dalam negeri. “Uang yang dikeluarkan tidak sedikit
jumlahnya, sayang kalau tidak menghasilkan apa-apa,” sarannya.
sumber :
http://id.olahraga.yahoo.com/news/soccer--pssi-tak-mau-mengulang-kegagalan-proyek-primavera-dan-baretti.html